Kami tujukan kepada : Insan yang tersia-sia malamnya
Wahai orang-orang yang terpejam matanya, Perkenankanlah kami, manusia-manusia malam menuliskan sebuah surat cinta kepadamu.
Seperti halnya cinta kami pada waktu malam-malam yang kami rajut di sepertiga terakhir.
Atau seperti cinta kami pada keagungan dan rahasianya yang penuh pesona.
Kami tahu dirimu bersusah payah lepas tengah hari berharap intan dan mutiara dunia.
Namun kami tak perlu bersusah payah, sebab malam-malam kami berhiaskan intan dan mutiara dari surga. Wahai orang-orang yang terlelap, Sungguh nikmat malam-malammu.
Gelapnya yang pekat membuat matamu tak mampu melihat energi cahaya yang tersembunyi di baliknya.
Sunyi senyapnya membuat dirimu hanyut tak menghiraukan seruan cinta.
Dinginnya yang merasuk semakin membuat dirimu terlena,menikmati tidurmu di atas pembaringan yang empuk, bermesraan dengan bantal dan gulingmu, bergeliat manja di balik selimutmu yang demikian hangatnya.
Aduhai kau sangat menikmatinya
.Wahai orang-orang yang terlena, Ketahuilah, kami tidak seperti dirimu !!
Yang setiap malam terpejam matanya, yang terlelap pulas tak terkira.
Atau yang terlena oleh suasananya yang begitu menggoda.
Kami tidak seperti dirimu !! Kami adalah para perindu kamar di surga.
Tak pernahkah kau dengar Sang Insan Kamil, Rasulullah SAW bersabda : "Sesungguhnya di surga itu ada kamar yang sisi luarnya terlihat dari dalam dan sisi dalamnya terlihat dari luar. Disediakan untuk mereka yang memberi makan orang-orang yang memerlukannya, menyebarkan salam serta mendirikan sholat pada saat manusia terlelap dalam tidur malam."
Sudahkah kau dengar tadi ? Ya, sebuah kamar yang menakjubkan untuk kami dan orang-orang yang mendirikan sholat pada saat manusia-manusia yang lain tertutup mata dan hatinya.
Wahai orang-orang yang keluarganya hampa cinta, Kau pasti pernah mendengar namaku disebut.
Aku Abu Hurairah, Periwayat Hadist.
Kerinduanku akan sepertiga malam adalah hal yang tak terperi.
Penghujung malam adalah kenikmatanku terbesar.
Tapi tahukah kau ? Kenikmatan itu tidak serta merta kukecap sendiri.
Kubagi malam-malamku yang penuh syahdu itu menjadi tiga.
Satu untukku, satu untuk istriku tercinta dan satu lagi untuk pelayan yang aku kasihi.
Jika salah satu dari kami selesai mendirikan sholat, maka kami bersegera membangunkan yang lain untuk menikmati bagiannya.
Subhanallah, tak tergerakkah dirimu ? Pedulikah kau pada keluargamu ?
Adakah kebaikan yang kau inginkan dari mereka ?
Sekedar untuk membangunkan orang-orang yang paling dekat denganmu, keluargamu ?
Lain lagi dengan aku, Nuruddin Mahmud Zanki.
Suatu kali seorang ulama tersohor Ibnu Katsir mengomentari diriku, katanya, " Nuruddin itu kecanduan sholat malam, banyak berpuasa dan berjihad dengan akidah yang benar."
Kemenangan demi kemenangan aku raih bersama pasukanku.
Bahkan pasukan musuh itu terlibat dalam sebuah perbincangan seru.
Kata mereka, " Nuruddin Mahmud Zanki menang bukan karena pasukannya yang banyak.
Tetapi lebih karena dia mempunyai rahasia bersama Tuhan".
Aku tersenyum, mereka memang benar.
Kemenangan yang kuraih adalah karena do'a dan sholat-sholat malamku yang penuh kekhusyu'an.
Tahukah kau dengan orang yang selalu setia mendampingiku ?
Dialah Istriku tercinta, Khotun binti Atabik.
Dia adalah istri shalehah di mataku, terlebih di mata Allah.
Malam-malam kami adalah malam penuh kemesraan dalam bingkai Tuhan.
Gemerisik dedaunan dan desahan angin seakan menjadi pernak-pernik kami saat mendung di mata kami jatuh berderai dalam sujud kami yang panjang.
Kuceritakan padamu suatu hari ada kejadian yang membuat belahan jiwaku itu tampak murung.
Kutanyakan padanya apa gerangan yang membuatnya resah.
Ya Alloh, ternyata dia tertidur, tidak bangun pada malam itu, sehingga kehilangan kesempatan untuk beribadah.
Astaghfirulloh, aku menyesal telah membuat dia kecewa.
Segera setelah peristiwa itu kubayar saja penyesalanku dengan mengangkat seorang pegawai khusus untuknya.
Pegawai itu kuperintahkan untuk menabuh genderang agar kami terbangun di sepertiga malamnya.
Wahai orang-orang yang terbuai, Kau pasti mengenalku dalam kisah pembebasan Al Aqso, rumah Allah yang diberkati.
Akulah pengukir tinta emas itu, seorang Panglima Perang, Sholahuddin Al-Ayyubi.
Orang-orang yang hidup di zamanku mengenalku tak lebih dari seorang Panglima yang selalu menjaga sholat berjama'ah.
Kesenanganku adalah mendengarkan bacaan Alqur'an yang indah dan syahdu.
Malam-malamku adalah saat yang paling kutunggu.
Saat-saat dimana aku bercengkerama dengan Tuhanku.
Sedangkan siang hariku adalah perjuangan-perjuangan nyata, pengejawantahan cintaku pada-Nya.
Wahai orang-orang yang masih saja terlena, Pernahkah kau mendengar kisah penaklukan Konstantinopel ?
Akulah orang dibalik penaklukan itu, Sultan Muhammad Al Fatih.
Aku sangat lihai dalam memimpin bala tentaraku.
Namun tahukah kau bahwa sehari sebelum penaklukan itu, aku telah memerintahkan kepada pasukanku untuk berpuasa pada siang harinya.
Dan saat malam tiba, kami laksanakan sholat malam dan munajat penuh harap akan pertolongan-Nya.
Jika Allah memberikan kematian kepada kami pada siang hari disaat kami berjuang, maka kesyahidan itulah harapan kami terbesar.
Biarlah siang hari kami berada di ujung kematian, namun sebelum itu, di ujung malamnya Allah temukan kami berada dalam kehidupan.
Kehidupan dengan menghidupi malam kami.
Wahai orang-orang yang gelap mata dan hatinya, Pernahkah kau dengar kisah Penduduk Basrah yang kekeringan ?
Mereka sangat merindukan air yang keluar dari celah-celah awan.
Sebab terik matahari terasa sangat menyengat, padang pasir pun semakin kering dan tandus.
Suatu hari mereka sepakat untuk mengadakan Sholat Istisqo yang langsung dipimpin oleh seorang ulama di masa itu.
Ada wajah-wajah besar yang turut serta di sana, Malik bin Dinar, Atho' As-Sulami, Tsabit Al-Bunani. Sholat dimulai, dua rakaat pun usai.
Harapan terbesar mereka adalah hujan-hujan yang penuh berkah.
Namun waktu terus beranjak siang, matahari kian meninggi, tak ada tanda-tanda hujan akan turun.
Mendung tak datang, langit membisu, tetap cerah dan biru.
Dalam hati mereka bertanya-tanya, adakah dosa-dosa yang kami lakukan sehingga air hujan itu tertahan di langit ?
Padahal kami semua adalah orang-orang terbaik di negeri ini ? Sholat demi sholat Istisqo didirikan, namun hujan tak kunjung datang.
Hingga suatu malam, Malik bin Dinar dan Tsabit Al Bunani terjaga di sebuah masjid.
Saat malam itulah, aku, Maimun, seorang pelayan, berwajah kuyu, berkulit hitam dan berpakaian usang, datang ke masjid itu.
Langkahku menuju mihrab, kuniatkan untuk sholat Istisqo sendirian, dua orang terpandang itu mengamati gerak gerikku.
Setelah sholat, dengan penuh kekhusyu'an kutengadahkan tanganku ke langit, seraya berdo'a : "Tuhanku, betapa banyak hamba-hamba-Mu yang berkali-kali datang kepada-Mu memohon sesuatu yang sebenarnya tidak mengurangi sedikitpun kekuasaan-Mu.
Apakah ini karena apa yang ada pada-Mu sudah habis ?
Ataukah perbendaharaan kekuasaan-Mu telah hilang ? Tuhanku, aku bersumpah atas nama-Mu dengan kecintaan-Mu kepadaku agar Engkau berkenan memberi kami hujan secepatnya."
Lalu apa gerangan yang terjadi ? Angin langsung datang bergemuruh dengan cepat, mendung tebal di atas langit.
Langit seakan runtuh mendengar do'a seorang pelayan ini.
Do'aku dikabulkan oleh Tuhan, hujan turun dengan derasnya, membasahi bumi yang tandus yang sudah lama merindukannya.
(dari: MyQuran)
No comments:
Post a Comment