Gus Dur pantas dijuluki mantan Presiden Indonesia paling aktif.
Bagaimana tidak? Sehari dia bisa menjelajahi separuh NKRI. Subuh ada di Jakarta, Dzuhur di Makassar, Maghrib sudah di Jakarta lagi.
Atau Subuh di Jakarta, dua jam kemudian ceramah di Surabaya, Gresik atau Sidoarjo, jam 11 siang sudah kembali ke kantornya di gedung PBNU Jakarta.
Tentu saja, cepatnya mobilitas Gus Dur itu berkat ditemukannya teknologi modern yaitu pesawat terbang.
Jika pencipta pesawat terbang Wright Bersaudara masih hidup, mungkin mantan Ketua Umum PBNU ini akan mertamu untuk menyampaikan kekagumannya.
Kemungkinan itu bukan tidak mungkin.
Akibat kekagumannya, pernah saat mengunjungi Brasil di tahun 2000, Gus Dur berniat mertamu ke rumah tokoh pendidikan dunia yang dikaguminya: Pastor Dom Helder Camara. Namun sayang, Pastor Camara sudah wafat beberapa bulan sebelum Gus Dur datang.
Kembali ke pesawat terbang. Burung besi itu bagai rumah Gus Dur ketiga, setelah kediamannya dan mobil yang mengantarnya kluyuran.
Sebagian besar waktunya dihabiskan di ketiga tempat itu.
Karenanya, sembuh dari sakit yang mengharuskan Gus Dur ngamar 2 minggu di dua rumah sakit, dokter pun mengeluarkan travel warning: “Gus Dur tak boleh naik pesawat”.
Maksud dokter sih, ‘menghadang dengan cara halus’ mobilitas yang melelahkan sang tokoh demokrasi itu, agar paling jauh Gus Dur cuma sampai Bogor.
Soalnya kalo Gus Dur langsung dilarang, dia akan bilang; “wong saya gak pa-pa kok.”
Jadi digunakanlah alasan tadi. Gus Dur pun berjanji akan mematuhinya.
Syahdan, datanglah undangan ceramah ke Surabaya pada Sabtu (13/8/2005).
Gus Dur menyambut gembira undangan itu, karena itu adalah kesempatan untuk bertatap muka dengan umatnya.
Dokter mencium rencana itu, Gus Dur pun diingatkan soal larangan naik pesawat.
“Iya Pak Dokter…,” kata Gus Dur menepati janjinya.
“Bagus…,” kata dokter.
Belum usai tarikan napas lega sang dokter, Gus Dur menimpali: “Tapi saya sudah punya tiket kereta.”
No comments:
Post a Comment