Monday, November 14, 2005

Berlian di Dalam Hati

Di tengah-tengah zaman yang dililit krisis, ditambah dengan produktifnya masyarakat memproduksi ketakutan di sana-sini, bisa dimaklumi kalau ada banyak orang yang amat haus akan hiburan.

Dan di kota-kota besar seperti Jakarta, salah satu tempat berlabuh dalam hal ini adalah Mal.
Mata memang amat dimanjakan oleh tempat-tempat seperti ini. dari pakaian, perhiasan, sampai pemandangan hidup dalam bentuk banyaknya pria ganteng dan wanita cantik.


Dalam sebuah kesempatan menyegarkan pikiran, saya pernah dikejutkan oleh mahalnya harga berlian.
Sebagai akibat pengalaman tadi, bila bertemu sejumlah orang kaya, saya coba perhatikan perhiasannya.
Kalau-kalau ada yang mengenakan berlian yang membuat saya heran tadi.
Dan memang benar, sebagian orang kaya rela membelinya, dan bangga mengenakannya.
Dan sayapun ikut senang serta bersyukur karena punya sahabat dengan kemampuan ekonomi yang demikian tingginya.

Di balik rasa kagum dan bangga terakhir, saya sebenarnya mau bertutur, bahwa kita semua memiliki berlian dengan harga yang tidak terhingga.
Dan yang paling penting, bisa membahagiakan kita dengan tingkat kebahagiaan yang tidak bisa ditandingi.
Kalaupun sejuta berlian mahal ditandingkan dengan berlian yang ada di dalam diri kita, berlian terakhir tetap tidak terdandingi.

Andaikan ada seratus mata hari dijejerkan bersamaan di pantai Kuta yang indah di sebuah sore, tetap tidak bisa mengalahkan keindahan permata di dalam hati.
Seandainya ada insinyur yang bisa membuat seribu air terjun seperti Niagara, tetap bukan bandingan yang sebanding dengan berlian yang kita bawa sejak dalam kandungan sang Ibu. Persoalannya, ada banyak sekali orang yang tidak tahu eksistensi permata di dalam hati. Boro-boro bisa menikmatinya, tahu saja tidak.


Buktinya, ya itu tadi, orang mencari-cari permata dan hiburan di luar diri.
Lebih dari itu, ada tidak sedikit orang yang mengisi seluruh hidupnya dengan kegiatan mencari permata dan hiburan di luar diri.

Bila hidup diibaratkan dengan bepergian, orang-orang jenis terakhir mirip dengan orang yang datang ke counter tiket kereta api.
Mau membeli tiket, kelas eksekutif dan ketika ditanya tujuannya, hanya menggeleng sebagai tanda tidak tahu.


(Oleh: Gede Prama)

No comments: