Ia selalu merasa gagal dalam setiap pekerjaan bahkan dalam hal membina sebuah rumah tangga yang utuh dengan istrinya.
Walaupun cintanya "tanpa pamrih," cinta yang utuh, tulus tanpa ada pertimbangan "untung dan rugi."
Ia cinta pekerjaanya, ia cinta istri dan anak semata wayangnya, ia cinta akan mereka yang selalu mengasuhnya termasuk sahabat - sahabatnya.
Karena ia yakin cinta tanpa pamrihnya itu akan membawa hasil yang maksimal.
Kegagalan yang ia rasakan semakin menggunung, seakan meledak saat itu akan meledak bagai bom yang bisa menghancurkan segalanya.
Ia sadari kekurangannya.
Tetapi kesalahan dan kegagalannya mengalahkan cintanya, hingga kemelut dirinya melitit hati terdalamnya .
Ia selalu mengumpat orang lain yang membuat kegagalannya.
Cinta tanpa pamrihnya luntur.
Melihat anaknya dirundung duka yang panjang, perempuan renta yang mengenalkan ia kedunia bertanya, "Anakku, apa yang yang membuat engkau berduka, bukankah hidup ini mulia, anakku."
Ia menjawab dengan lirih, "Mak, rasanya aku tak berdaya, tiada berguna aku hidup, nyawaku inipun tak mengandung arti apa-apa karena aku manusia pemarah dan selalu membuat kesalahan, padahal bukan karena aku."
Sang ibu berkata, " Itu masalah yang bisa diselesaikan anakku"
Ia menjawab dengan muka merah dan heran, "Aku gagal Mak, hidupku ini selalu jadi masalah, dan ini masalah besar bagiku dan orang lain."
Perempuan renta itu tidak mampu titik temu untuk meredakan emosi lelaki berduka.
Hari itu semakin gelap untuknya, dunia ini semakin gelap bahkan hidupnya tanpa matahari dan rembulan .
Ia bergumam, "Hidup mulia? bukan, hidup ini tidak mulia".
Hantu kegagalan terus mendayu dalam hatinya.
Ia meraih seutas tali yang selama ini untuk menampung kegagalan.
Bunuh diri! ya bunuh diri akan menyelesaikan masalahku."
Ia berjalan menuju kebun yang selama ini menjadi tempat hiburannya.
Saat tali sudah mengikat menggantung leher dan pohon rambutan, sang ibu datang dengan tergopoh - gopoh.
"Anakku akan aku relakan engkau untuk mati dengan maumu, jika engkau tak kau dengar suara orang lain, beri barang sedetik untuk bertanya padamu. Kapan " masa emas" yang engkau alami selama hidupmu?"
Ia menjawab, "Saat aku merasa benar dan hidup kecukupan."
Sang Ibu menjawab, "Ya, mungkin itu yang selalu kamu harapkan dalam hidup ini hingga kesalahan, masalah yang ada dan kegagalan tidak engkau lihat sebagai awal untuk menemukan matahari, akhirnya tali itu akan mengakhirinya.
Tapi bukan itu anakku, masa emas kita adalah 'Masa' dimana kita menyadari bahwa masalah itu timbul dari kita sendiri, bukan karena orang lain. Bila kita menyadari itu, kita bisa melihat apa yang membuat kegagalan, apa yang menjadi masalah dan bisa melihat pada diri kita sendiri, dan paling tidak kita akan punya kesempatan untuk memperbaiki dan mampu untuk tidak mengulanginya kembali, dan mencoba berusaha berbuat yang paling baik paling tidak untuk kita sendiri, Tetapi bila engkau masalah itu selalu engkau pikir disebabkan karena orang lain, engkau akan selalu merasa benar, padahal sebetulnya salah dan bila kesalahan lain menimpa akan menjadi bom yang siap meledakkan nyawamu. Kita sendiri menyumbang kegagalan itu, bukan ia dan bukan juga mereka, bahkan timbul dendam."
Seperti kata sang Resi jaman Nayarana "Bahwa hidup ini mulia dan mati itu berjasa"
"Sekarang terserah engkau anakku, bila engkau masih mau dengar orang lain,dan kembali bersama mataharimu" lanjut sang ibu.
Perlahan ia lepaskan tali yang menggantung dilehernya, memeluk ibunya, memeluk istri dan anak tercintanya ia memeluk seluruh kehidupannya dan menemukan matahari.
No comments:
Post a Comment