Anak ini demikian sedihnya, berhari-hari, terbilang minggu….
Teringat perhatian, teguran, elusan, kasih sayang yang berlimpah.
Warisan yang ditinggalkan tak terasa semakin menipis.
Satu demi satu digadaikan pada seorang tuan tanah.
Anak ini sangat rajin menyambangi kuburan orang tuanya.
Setiap kali merenung dikuburan tsb, selalu diiringi tangisan yang berkepanjangan, demikian menyedihkannya.
Seorang kakek berlalu tertatih-tatih.
Melihat anak itu mulai menangis dan mengguguk, kakek itu meloncat dan tertawa-tawa.
Suara tawanya berbaur dengan suara tangis Si anak sehingga terdengar aneh sekali.
Bahkan anak yang sedang menangis itu menghentikan tangisnya memandang kakek itu.
Kek, apa yang kau tertawakan?
Anak yang baik, apa yang kau tangisi?
Aku menangisi kematian ayahku. kata Si anak penasaran.
Ha-ha, benarkah itu? Bagaimana mungkin engkau tangisi orang tuamu kalau engkau tidak tahu bagaimana keadaan mereka sekarang? Yang jelas, mereka terhindar dari kemiskinan, terhindar dari sakit.
Itukah yang kau tangisi? Ataukah engkau menangisi dirimu sendiri karena merasa ditinggalkan orang-orang yang kausayangi, karena merasa hidup seorang diri dan tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak memiliki apa-apa lagi?
Itukah yang kautangisi?
Anak tsb tertegun dan sadar.
Memang begitulah, kek, aku menangisi diriku sendiri, merasa kasihan kepada diriku sendiri. Salahkah itu?
Ha-ha, tidak salah melainkan tidak tepat.
Manusia harus berusaha mengatasi kesulitannya, bukan hanya ditangisi.
Dan engkau sendiri mengapa tertawa-tawa, kek?
Apa engkau menertawakan aku yang sedang berduka?
Alangkah kejamnya engkau.
Ha-ha-ha, aku tertawa karena melihat kelucuan.
Betapa manusia diombang-ambingkan antara tawa dan tangis, antara suka dan duka.
Baru terlahir sudah menangis, masih belum puaskah?
Menangis dan menangis lagi.
Seorang bocah seperti engkau ini tidak pantas menangis, pantasnya tertawa seperti aku, mentertawakan dunia mentertawakan manusia dengan segala kepalsuannya!
No comments:
Post a Comment