Pukul 01.15 dini hari itu, Mbok Dariah, berkutat dengan hawa dingin terminal yang setiap dini hari berubah menjadi pasar kaget. Sebentar ia berlari meninggalkan putrinya yang terlelap untuk mengejar tumpukan sayur di truk atau mobil pick up, seketika, karung besar berisi sayur atau cabai sudah berada di pinggangnya.
Setiap hari ia lakukan itu dengan membawa serta putri bungsunya yang masih berusia empat tahun.
Sang putri, tentu tak pernah mengerti mengapa ibunya rela melakoni pekerjaan itu, memerangi kantuk, berselimut udara malam yang dingin, kemudian berkeringat saat dan sesudah memanggul karung.
Padahal, upah yang didapat dari memanggul karung itu tak seberapa.
Tidak hanya di hari-hari biasa, bahkan di bulan Ramadhan pun ia tetap menjalani pekerjaan kasarnya itu.
"Justru kalau bulan puasa, lebih banyak dapat duitnya," ujarnya singkat.
Ya, Ramadhan memang membawa berkah pula bagi seorang Dariah.
Jumlah permintaan belanja masyarakat lebih tinggi, sehingga pasar malam lebih ramai.
Tidak hanya dua tiga karung yang bisa terangkut olehnya, bahkan di bulan ini bisa mencapai enam karung.
"Lumayan, bisa buat buka puasa," pungung tangannya membasuh peluh di keningnya. Bagaimana dengan sahur? "Nggak mikirin sahur deh, dapatnya juga nggak seberapa.
Makan satu lontong saja sudah syukur," akunya polos.
Sedikit uang yang didapatnya dini hari itu membuatnya berpikir berulang kali untuk membeli sebungkus nasi sahurnya.
Hingga akhirnya, lebih sering ia memutuskan untuk tidak makan sahur.
Sedangkan untuk tiga anak lainnya di rumah, ia sudah membagi dua nasi dan lauk makanan berbuka untuk makan sahur.
Di lain tempat, Bang Wawan, tukang becak yang biasa mangkal di depan gang rumah ibu saya malah lebih sering tidak makan sahur.
Menurutnya, kalau dalam sehari banyak nariknya ia bisa makan sahur bersama lima teman lainnya di satu pangkalan.
"kalau sepi, kadang makan, kadang sebungkus berdua, tapi lebih sering nggak makan".
Ia mengaku sudah biasa tak makan sahur, meski pun ia harus tetap berpuasa saat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang becak.
Lelah, sudah pasti, tak bertenaga saat mengayuh becak, masuk akal, karena tidak ia tak makan sahur.
Itulah sebabnya, saat saya berkunjung ke rumah ibu, meski tak setiap sore, sering ada makanan berbuka dan beberapa bungkus nasi untuk tukang becak di pangkalan depan gang itu.
Hampir semua warga disitu bergantian memberi makanan berbuka atau makan sahur untuk Bang Wawan dan teman-temannya.
Lalu bagaiman dengan tukang becak di pangkalan lainnya?
Apakah mereka juga makan sahur? Mungkinkah warga sekitarnya cukup peduli dengan orang-orang seperti Bang Wawan?
Seorang kawan bercerita, airmatanya tak henti meleleh sampai menjelang dzuhur setiap kali teringat wajah-wajah polos di panti yatim.
Dini hari tadi, ketika waktu sahur ia dan beberapa teman kantornya menyambangi dua panti yatim di Jakarta dengan membawa nasi bungkus untuk makan sahur anak-anak yatim.
Pengakuan pengelola panti lah yang membuatnya terus menangis, "Setiap malam saya tidak bisa tidur, mikirin apa yang bisa dimakan untuk sahur".
Menatap polos mata-mata penuh harap milik anak-anak itu, hatinya makin terenyuh. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa nikmat menyantap makan sahur dan berbukanya, sementara dini hari itu ia tahu ada banyak anak-anak yang tak punya apapun untuk dimakan.
Melihat kembali meja makan kita yang penuh sesak makanan berbuka, yang terkadang tak habis hingga makan sahur tiba.
Sementara kita sudah menyiapkan makanan yang lain untuk sahur.
Jadilah tempat sampah persinggahan makanan sisa berbuka.
Mungkin, terlalu banyak makanan yang terjejal di mulut ini, menyesaki setiap rongga dalam perut kita.
Padahal, pasti lebih nikmat jika kita membaginya.
Saat kita berpuasa, mereka juga berpuasa
Ketika tiba waktu berbuka, banyak diantara mereka yang tetap berpuasa
Waktu makan sahur, mereka menatap meja makan dan piring kosong
Tanpa berbagi, nikmatkan santapan kita?