Oleh: Gede Prama.
Empat tahun yang lalu, persisnya 12 Oktober 2002, untuk pertama kalinya bom meledak di Kuta, Bali, dengan korban ratusan nyawa. Sedih, berduka, tersentuh, dan prihatin barangkali kata-kata yang tepat ketika itu. Seperti dikomando oleh sebuah kekuatan yang tidak bisa dijelaskan, berbagai pihak di dalam negeri dan luar negeri semuanya bergerak sebagai tanda simpati dan empati. Uang, tenaga, obat-obatan, pemberitaan semuanya mengalir deras sekali.
Namun, di atas semua itu, ada yang lebih menyentuh hati lagi. Masyarakat Kuta yang tempat lahir sekaligus tempat hidupnya dihancurkan melalui ledakan bom, dinodai darah manusia, digoyang masa depannya, digoda kesabarannya, malah merespons secara menyentuh.
Soal cerita kemarahan dibalas kemarahan, darah dibayar darah, kebencian diikuti kebencian, dan penghancuran tidak punya sahabat ikutan lain selain penghancuran sudah terlalu sering kita dengar, baca, dan tonton. Namun, penghancuran diikuti persahabatan, bencana darah manusia direspons dengan ketenangan, kecurigaan terhadap pihak lain diganti empati-empati saling berbagi, dan di atas semua itu, tidak ada satu pun tempat ibadah yang terkena lemparan batu, apalagi dihancurkan. Bukankah ini sebuah peristiwa kemanusiaan yang langka?
[MORE]
No comments:
Post a Comment