Oleh: Gede Prama
Lihat kebunku penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati semuanya indah.
Bencana, bencana, bencana, bencana, mungkin itu kabut-kabut kehidupan yang berganti menyelimuti Indonesia beberapa tahun terakhir ini.
Belum sepenuhnya pulih dari banjir dahsyat Jakarta, tiba-tiba tanah longsor menggelegar, gempa bumi memakan nyawa, pesawat Garuda terbakar. Bencana seperti tidak bosan-bosannya menggoda jiwa Indonesia.
Seorang sahabat asli Jawa berulang-ulang menyebut kata miris. Seorang psikiater mengutip sebutan tua tentang zaman edan saat menyaksikan seorang Ibu membakar diri dan sejumlah putra-putrinya karena terimpit kesulitan kehidupan. Bahkan, Herald Tribune menulis Indonesia: Mass murder or natural disaster, terutama setelah menghitung ratusan ribu nyawa melayang akibat bencana.
Berduka, bersedih, tersentuh penderitaan sesama tentu salah satu tanda pertumbuhan jiwa. Di Timur telah lama diajarkan, untuk memasuki wilayah-wilayah kesucian, bahkan menginjak rumput pun, dilarang. Terutama karena setiap rasa sakit yang kita timpakan ke ciptaan lain akan kembali menyakiti diri. Karena itu, sungguh layak disyukuri jika Indonesia masih memiliki banyak hati yang punya empati.
[read more]
No comments:
Post a Comment